Langsung ke konten utama

2020, seperti kiamat kecil bagiku ( part 1 )

     Dari pertama kali muncul berita tentang adanya covid 19, aku termasuk yang paling takut, panik, khawatir juga cemas. Melihat penyebarannya yang begitu mudah dan cepat. Disamping berdo'a memohon perlindungan kepada Allah, aku di rumah juga menerapkan protokol kesehatan. Adanya kabar akan lockdown juga membuat keluarga kami ikut serta membeli persediaan makanan yang lebih untuk berjaga-jaga. 

    Covid 19 ini juga berampak pada sistem pendidikan, dimana pada bulan Maret seluruh instansi pendidikan mengumumkan libur selama dua minggu -pada awalnya. Aku segera memutuskan untuk pulang ke rumah. Emang sedikit nekat, semua menyarankan untuk tetap stay di kosan karena kalo pulang beresiko apalagi naik kendaraan umum. Tapi aku maksa untuk pulang. Untungnya di bis ga terlalu rame paling cuma setengahnya, di perjalananpun aku berusaha menjaga agar tidak banyak menyentuh dan menutup mulut dan hidung dengan kerudung karena saat itu masker dimana-mana sudah habis. Sampe di rumah langsung ganti baju dan mandi. Alhamdulillah selamat.

    Tiga bulan pertama sejak pandemi berada di rumah, semua berjalan lancar. bapak dan ibu mengajar dari rumah. Aku kuliah di rumah. Semua dilakukan secara online. Karena situasi yang memburuk nenek atau yang biasa dipanggil Embah meliburkan sekolah madrasah dan pengajian yang biasa diampu oleh beliau. Demi keamanan dan keselamatan semuanya. Mengingat embah yang sudah tua karena katanya rentan untuk tertular. Hal itu yang bikin embah ngerasa bosen dan gaada kegiatan. Hanya di rumah saja. Tapi yang terpenting adalah semuanya sehat dan aman.

    Sebelum bulan puasa adikku, Malik pulang dari pesantren. Semua pesantren disarankan untuk memulangkan santrinya pada saat itu. 

Hingga bulan puasa tiba, sedih sekali. Tidak ada tarawih berjamaah. Kegiatan jalan-jalan sore atau yang biasa disebut ngabuburit dilarang, begitu juga kegiatan atau acara buka bersama. Tapi hal tersebut tidak menghalangi kekhusyuan ibadah pada bulan Ramadhan. 

    Embah memutuskan untuk mengadakan tarawih berjamaah di rumah embah khusus keluarga saja. Yang dilanjutkan dengan tadarus bersama. Setelah tadarus sambil menyantap makanan dan minuman sisa buka kami banyak mengobrol. Bertukar cerita, kehidupan jaman embah dulu, ngomongin leluhur silsilah keluaraga, kehidupan aku dan sepupuku semasa kuliah, kehidupan di pesantren, masalah jodoh, bahas ilmu baru dll. Pokoknya banyak deh dari yang serius sampe becandaan hal-hal yang gak penting. Setiap hari satu bulan penuh selama bulan Ramadhan seperti itu. 

    Dilarangnya mudik pada tahun ini menjadikan aku dan keluargaku untuk pertama kalinya merasakan Hari Raya Idul Fitri di kampung sendiri. Emang agak beda, tapi ini semua demi keamanan dan kesehatan semua. Kami tetap bisa bermaaf-maafan dengan keluarga di Majalengkan melalui video call. 

-


    Akhir bulan Syawal adikku harus kembali ke pondok. Ada sedikit rasa khawatir, tapi melihat keamanan yang disediakan pondok agak sedikit lega. Dari mulai penjemputan, tersedianya tim medis dan juga protokol keehatan yang diterapkan. 

Tapi, tepatnya sehari setelah keberangkatan adikku..

Embah sakit.

Sore hari nya Ibuku membawanya ke Bidan dekat rumah. 

Oh.. sakit biasa. Lambungnya kambuh. 

Setelah pulang dari bidan, embah minta mau tidur di ruang tengah ngampar kasur. Tanpa berpikir apa-apa, kami menurutinya. Embah juga minta untuk aku, ibuku, sepupu2ku, uwa semuanya untuk ngaji sholat berjamaah di rumah embah. Setelah selesai mengaji, menunggu waktu isya tiba-tiba embah bilang..

"Kalo embah udah gaada, jangan lupa ya Al Fatihahnya tiap waktu sholat. Nitip anak madrasah sama anak ngaji. Yang dateng cuma 1-2 orang juga jangan diliburin".

Kami semua meng-iyakan tanpa berikir apa-apa.

Lalu, kami semua disuruh buat nginep nemenin embah katanya.

...

Jam 1 malem aku belum tidur. Embah juga belum tidur, Aku mendengar rintihan embah kesakitan sambil nyebut "Allah.. Allah.. Astaghfirullah".


Aku liat embah lagi duduk, terus aku juga bangun. 

Embah bilang, "Teteh belom tidur? Masih kuliah jam segini?" (kuliah disini maksudnya mengerjakan tugas)

Aku bilang, "Engga, ini mau tidur".

...

Dari jam 4 subuh aku udah denger rintihan embah yang terus nyebut. 

Setelah subuh, embah dibawa ke klinik tempat Embah biasa berobat.

Diagnosanya sama. Lambung. Embah megangin perut terus. Sakit katanya.

Embah minta dipijitin, diusapin. Ada yang aneh pada saa itu. Biasanya kalo aku mijit embah selalu minta buat yang kenceng gak kerasa katanya padahal udah sekuat tenaga, tapi saat itu embah bilang "sakit, pelan-pelan aja" padahal aku baru nyentuh.

Kami semua masih ngumpul di rumah embah. Aku sambil kuliah. Sepupuku juga sama.

Kondisinya semakin membaik, tidak mengeluhkan sakit lagi. Tapi tetep nyebut terus.

Uwaku bikin baso, kami makan sambil ngobrol-ngobrol. Embah juga ikut ngobrol, dan tertawa bersama.

...

Menjelang zuhur, sebagian pulang dulu ke rumah masing-masing untuk sholat dll. Begitupun aku. Aku mau tidur siang dulu, pikirku. 

Tidak lama, Ghina anak dari sepupuku memanggil.

"Teh Zahra, suruh kesana. Itu Yuyut sesak napas".

Aku langsung bergegas. Kaget. 

Aku diminta untuk memanggil uwa dan yang lain. 

Aku memegang tangan embah dan membisikkan, "Mbah.. Laa ilaaha Illallaah".

Aku lakukan terus menerus. Air mata terus menetes.

Ibuku dan uwa uwa yang lain juga melakukan yang sama. Memegang kaki, udah dingin. Isak tangis semakin terdengar. 

Kami terus menyerukan kaliamat kalimat tauhid.

Hingga matanya menutup.

Uwaku memanggil bidan untuk memastikan kondisinya. 

"Iya, Ibu udah gaada". ucap bidan itu.

Tangisan semakin menjadi-jadi. Lemes. Gabisa berkata apa-apa. Masih gapercaya. Engga. 

Kami bergegas mengambil air wudhu untuk membacakan Yasin. Gakuat. Air mata terus mengalir. 

Kemudian, kami bergantian untuk sholat zuhur.

Melihat proses memandikan jenazah sambil membacakan surat Al Mulk. 

Menciumnya untuk terkahir kali.

Proses dibungkus kain kafan, lalu di sholatkan di masjid.

Dan.. dikuburkan.

Masih gapercaya, akan secepat ini..

Tadi masih ngobrol dan ketawa bareng.

    Setelah itu baru menyadari, kata-kata embah pada kemarin malam sebagai sebuah wasiat. Kebersamaan selama bulan Ramadhan menjadi kenangan terakhir yang sangat indah dan berharga. Ada hikmah dibalik pandemi, kami semua ada di rumah menghabiskan waktu bersama sebelum bahkan hingga tiba waktu kepergian embah. Mengurus tahlil dan terus saling menguatkan satu sama lain. 

    Aku yakin embah meninggal dengan husnul khotimah. Selama sakitpun Embah tidak pernah berhenti menyebut "Allah.. Allah.." . Semua yang melayatpun banyak yang tidak menyangka dan sangat kaget. Karena memang secepat itu. Dan juga sebelumnya tidak sakit yang parah. Sakit lambung yang terasa tidak parah, sudah sering kambuh apalagi kalo ada salah makan. Tapi, kembali lagi ajal sudah Allah tentukan. Tidak peduli umur, sehat atau sakit.

Aku sangat amat merasa kehilangan. Tiap hari aku bersama embah dengan cerewetnya yang khas. 

Ah rindu sekali..

Embah, maafkan cucumu yang punya banyak salah, yang gasuka kalo dikritik. Walau ternyata kritikmu itu ada benarnya juga, maafkan aku yang kadang sok tau, hehe. 

Embah orang baik. Embah selalu semangat untuk mengajar tanpa pamrih. Sampai jumpa, semoga kita dipertemukan kembali kumpul bersama di surga-Nya. Aamiin..







Komentar

Postingan populer dari blog ini

essay tentang cita-cita

YAKINLAH Karya : Azzahra Rahimi Sejak kecil kita sudah ditanyai sudah besar mau jadi apa, ingin bekerja apa, dan ditanya apa yang cita-cita setelah besar nanti. Jawaban pada umumnya adalah ingin menjadi dokter, pilot, astronot, bahkan superhero. Kita menjawab tanpa mengerti apa definisi cita-cita yang sesungguhnya. Hanya sekedar mengetahui itu adalah sebuah profesi yang bagus terlihat keren, terinspirasi dari kartun yang dilihat atau mengikuti orang tuanya. Tanpa memikirkan bagaimana caranya untuk menggapai cita-cita tersebut. Menjadikan diri sendiri berada pada posisi yang diinginkan adalah hal yang wajar, karena setiap manusia berhak dan pasti mempunyai cita-cita dalam kehidupan ini. Banyak orang berpendapat bahwa hidup tanpa cita-cita mati saja, karena orang hidup tanpa mempunyai cita-cita bagaikan mayat hidup. Tujuannya memiliki cita-cita yaitu  untuk membakar semangat agar terus melangkah maju dengan langkah yang jelas dalam kehidupan ini sehingga menjadi sebuah penge...

dibalik haha hihi

    Udah satu tahun setengah kuliah online, alias udah mau tiga semester. Jujur aja rasanya nano nano. Pertama, seneng banget karena gue kuliah di rumah dimana gue tiap hari ketemu orang tua gue, ga harus mikir lagi makan nyuci gimana, ga sendiri, lingkungan yg nyaman dll nya deh. Tentu itu hal yg gue syukuri, banget. Alhamdulillah juga orang tua gue ngerti, mendukung dan selalu mendoakan. Jadi kaya gaada alesan deh kalo buat ga kuliah di rumah.     Kedua, cape banget dan stress. Awal2 emang enak 'wah asik bgt kuliahnya santai' 'enak bgt ga harus mandi dulu' 'bisa sambil rebahan' tapi setelah satu semester berlalu, tugas menumpuk, deadline ga kira2, ketemu dosen baru yg wow tidak bisa ditebak. Booom. Baru kerasa capenya. Belom lagi kalo tugas kelompok tapi rasa individu. Sebenernya yg bikin cape bukan 100% karena tugasnya sih, karena kalo pun ga online tugasnya bakal tetep sama. Yang bikin cape adalah ketika harus tiap hari depan layar, ga ketemu temen, gaada t...