Makalah Tentang Keutamaan Sholawat Nabi
Az Zahra Rahimi
X BR 2
SMA INSAN KAMIL BOGOR
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya dapat menyelesaikan Makalah tentang “Keutamaan Sholawat
Nabi”
Penulisan laporan ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Bahasa Indonesia dan PAI. Dalam penulisan laporan ini penulis mengalami
beberapa kendala. Namun berkat bantuan dan dukungan dari orangtua, teman-teman
kelas X Br 2 SMA Insan kamil Bogor dan berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Pada kesempatan ini sudah selayaknya penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih ada banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak khususnya
pembaca sangat penulis harapkan. Harapan penulis, karya tulis ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi penulis dan juga bagi para pembaca.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membaca
shalawat menjadi salah satu bukti cinta kita kepada Nabi SAW. Kita wajib
mencintai Nabi SAW, karena beliaulah yang telah membawa kita ke jalan Allah
SWT. Orang yang membaca shalawat pasti orang yang mencintai Nabi SAW, tidak
mungkin orang yang membencinya. Oleh sebab itu kita disarankan untuk senantiasa
bersholawat kepada Beliau, kapan pun dan dimanapun (bukan hanya dalam ceremoni
atau ketika susah saja) sesuai dengan firman Allah di atas (Al-Ahzab:56).
Tentunya cara bersholawatnya harus dengan cara yang baik dan benar serta tidak
berlebihan. Ketika bersholawat, maka harus disertai dengan mengingat perjuangan
Nabi SAW seperti halnya Beliau selalu mengingat umat-umatnya. Nabi SAW selalu
sayang kepada umatnya bahkan sampai akhir hayatnya yang diingat adalah umatnya,
maka kita pun harus membuktikan rasa sayang kepada Beliau, diantaranya dengan
senantiasa bershalawat dan mengikuti sunnahnya.
Dimasyarakat,
kemudian berkembang syair-syair untuk memuji Nabi SAW, oleh sebagian bahkan
sering diadakan acara shalawatan tetapi kadang kala dilakukan dengan berlebihan
bahkan sambil dikeraskan. Sesungguhnya kegiatan seperti ini diawali semenjak
zaman Shalahuddin Al-Ayyubi. Ketika itu kaum muslimin membutuhkan motivasi
dalam berperang (perang salib). Karena bertepatan dengan bulan Rabiul awwal
(bulan kelahiran Nabi) maka, Shalahuddin al-Ayyubi memiliki ide untuk merayakan
hari kelahiran Nabi SAW, yang kemudian dikenal dengan istilah Mauludan.
Rangkaian acara tersebut diantaranya dilakukan dengan membuat sayembara untuk
membuat syair-syair untuk mengingat perjuangan Nabi saw agar kaum muslimin
semakin mencintai Nabi SAW dan mendapat motivasi untuk berperang. Syair-syair
tersebut kemudian berkembang bahkan dijadikan sebagai bacaan dalam ceremoni
shalawatan. Jadi shalawatan seperti itu sesungguhnya bukan bagian dari Ibadah
tetapi hanya ceremoni saja, bahkan bisa disebut kegiatan kesenian saja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana keutamaan membaca
shalawat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui keutamaan shalawat.
D. Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini metode penulisan yang kami gunakan adalah metode
kepustakaan, dengan mencari bahan-bahan materi dari berbagai sumber, baik media
cetak ataupun dari kajian-kajian Islam multi media.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalawat
Secara
etimologis shalawat adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal shalah (الصلاة)
yang berarti doa (lihat: Al-Mu'jamul Wasith). Secara terminologis,
shalawat memiliki sejumlah pengertian antara lain sebagai berikut:
a.
Shalawat
dari Allah kepada manusia yang bermakna memberi rahmat seperti dalam QS
Al-Ahzab 33:43 yang artinya :
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan
kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang
yang beriman.”
b.
Shalawat
dari malaikat kepada umat Islam (mukminin) yang bermakna permohonan ampun
malaikut untuk umat Islam.
c.
Shalawat
dari seorang muslim kepada muslim yang lain yang bermakna doa seperti dalam QS
At-Taubah 9:103 yang artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659]
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda. [659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
d.
Shalawat
dari manusia kepada Allah yang bermakna ibadah khusus pada Allah dalam waktu
dan cara tertentu sesuai syariah seperti dalam QS Al-Kautsar 108:2 yang artinya
:
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
[1605] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan
mensyukuri nikmat Allah.
Membaca shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW mengandung pengertian berdoa kepada Allah Swt agar Nabi Muhammad
SAW dan keluarganya selalu dilimpahkan kesejahteraan dan keberkatan. Tujuan
dari membaca sholawat agar kaum muslimin mendapatkan syafaat (Syafa’atul Uzhma)
di akherat nanti. Dasarnya ialah firman Allah SWT yang artinya :
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya[1230].”
[1229]
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari Malaikat
berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa
supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan:Allahuma shalli ala Muhammad.
[1230] Dengan
mengucapkan Perkataan seperti:Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga
keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
Ibnu
Hajar al-Makki menyimpulkan makna shalawat sebagai berikut: shalawat dari Allah
berarti rahmat, dari malaikat dan manusia berarti doa atau permohonan rahmat
untuk Nabi Muhammad.
B. Keutamaan Membaca Shalawat
عن أنس بن
مالك قال: قال رسول الله مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه
عَشْرَ صَلَوَاتٍ،وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْ دَرَجَاتٍ»
رواه النسائي وأحمد وغيرهما وهو حديث صحيح
Artinya :
Dari Anas bin malik radhiallahu
‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan
bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya,
serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)”[SHAHIH.
Hadits Riwayat An-Nasa’i (no. 1297), Ahmad (3/102 dan 261), Ibnu Hibban (no.
904) dan al-Hakim (no. 2018), dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah,
al-Hakim rahimahullah dan disepakati oleh adz-Dzahabi, rahimahullah juga oleh
Ibnu hajar rahimahullah dalam “Fathul Baari” (11/167) dan al-Albani
rahimahullah dalam “Shahihul adabil mufrad” (no. 643). ].
Hadits
yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut [Lihat
“Sunan an-Nasa’i” (3/50) dan “Shahiihut targiib wat tarhiib” (2/134)], karena
ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda
dari Allah Ta’ala [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169)].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini :
·
Banyak
bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda
cinta seorang muslim kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Lihat
kitab “Mahabbatur Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bainal ittibaa’
walibtidaa’” (hal. 77).], karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang
mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya” [Lihat kitab “Minhaajus
sunnatin nabawiyyah” (5/393) dan “Raudhatul muhibbiin” (hal. 264).].
·
Yang
dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang shahih (yang biasa dibaca
oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat
bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang belakangan, seperti
shalawat nariyah, badriyah, barzanji dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.
Karena shalawat adalah ibadah, maka syarat diterimanya harus ikhlas karena
Allah Ta’ala semata dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam [Lihat
kitab “Fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 3-4), tulisan syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu.]. Juga karena ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhuma
bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Ya Rasulullah), sungguh
kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami
mengucapkan shalawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Ucapkanlah: Ya Allah, bershalawatlah kepada (Nabi) Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau…dst seperti shalawat dalam
tasyahhud [SHAHIH. Riwayat Bukhari (no. 5996) dan Muslim (no. 406)].
·
Makna
shalawat kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta kepada Allah
Ta’ala agar Dia memuji dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dunia dan akhirat, di dunia dengan memuliakan peneyebutan (nama) beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam
yang beliau bawa. Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memudahkan syafa’at beliau kepada umatnya dan
menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk [Lihat
kitab “Fathul Baari” (11/156)].
·
Makna
shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat,
pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya [Lihat kitab
“Zaadul masiir” (6/398).]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari
Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya
(petunjuk-Nya),
sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya :
Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan
untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang
terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS
al-Ahzaab:43).
C. Lafazh-Lafazh Shalawat
Lafazh
shalawat yang paling ringkas yang sesuai dalil-dalil yang shahih adalah :
اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan
salam kepada Nabi kami Muhammad”.
[SHAHIH. HR.
At-Thabrani melalui dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma’ Az-Zawaid 10/120 dan
Shahih At- Targhib wat Tarhib 1/273].
Kemudian
terdapat riwayat-riwayat lain yang Shahih dalam delapan riwayat, yaitu :
1.
Dari jalan
Ka’ab bin ‘Ujrah
اللهم صل على
محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك
على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat
kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji (lagi) Maha Mulia”.
[SHAHIH, HR.
Bukhari 4/118, 6/27, dan 7/156, Muslim 2/16, Abu Dawud no. 976, 977, 978, At
Tirmidzi 1/301-302, An Nasa-i dalam "Sunan" 3/47-58 dan "Amalul
Yaum wal Lailah" no 54, Ibnu Majah no. 904, Ahmad 4/243-244, Ibnu Hibban
dalam "Shahih" nya no. 900, 1948, 1955, Al Baihaqi dalam
"Sunanul Kubra" 2/148 dan yang lainnya]
2.
Dari jalan
Abu Humaid As Saa’diy
اللهم صل على
محمد وعلى أزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد وعلى أزواجه
وذريته كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah,berilah shalawat kepada
Muhammad dan kepada isteri-isteri beliau dan keturunannya,sebagaimana Engkau
telah bershalawat kepada Ibrahim. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan
isteri-isteri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi
Ibrahim,Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”
[SHAHIH, HR.
Bukhari 4/118, 7/157, Muslim 2/17, Abu Dawud no. 979, An Nasa-i dalam
"Sunan" nya 3/49, Ibnu Majah no. 905, Ahmad dalam "Musnad"
nya 5/424, Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/150-151, Imam Malik dalam
"Al Muwaththo' 1/179 dan yang lainnya].
3.
Dari jalan
Abi Mas’ud Al Anshariy
اللهم صل على
محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت
على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan
berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga
Ibrahim atas sekalian alam, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”
[SHAHIH, HR Muslim 2/16, Abu Dawud no. 980, At
Tirmidzi 5/37-38, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/45, Ahmad 4/118,
5/273-274, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1949, 1956, Baihaqi
dalam "Sunanul Kubra" 2/146,dan Imam Malik dalam "AL Muwaththo'
(1/179-180 Tanwirul Hawalik Syarah Muwaththo'"]
4.
Dari jalan
Abi Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshariy (jalan kedua)
اللهم صل على
محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على
محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد
مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad yang ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
memberi bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Dan berkahilah Muhammad
Nabi yang ummi dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi
keluarga Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia”.
[SHAHIH, HR.
Abu Dawud no. 981, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no. 94,
Ahmad dalam "Musnad" nya 4/119, Ibnu Hibban dalam "Shahih"
nya no. 1950, Baihaqi dalam "Sunan" nya no 2/146-147, Ibnu Khuzaimah
dalam "Shahih" nya no711, Daruquthni dalam "Sunan" nya no
1/354-355, Al Hakim dalam "Al Mustadrak" 1/268, dan Ath Thabrany
dalam "Mu'jam Al Kabir" 17/251-252]
5.
Dari jalan
Abi Sa’id Al Khudriy
اللهم صل على
محمد عبدك ورسولك كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت
على إبراهيم
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad hambaMu dan RasulMu, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada
Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau
telah memberkahi Ibrahim”.
[SHAHIH, HR
Bukhari 6/27, 7/157, An Nasa-i 3/49, Ibnu Majah no. 903, Baihaqi 2/147, dan Ath
Thahawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/73]
6.
Dari jalan
seorang laki2 shabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
اللهم صل على
محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد
وبارك على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما باركت على آل إبراهيم إنك
حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya,
sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
(lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan kepada ahli baitnya dan
istri-istrinya dan keturunannya, sebagimana Engkau telah memberkahi Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”.
7.
Dari jalan
Abu Hurairah
اللهم صل على
محمد و على آل محمد وبارك على محمد و على آل محمد كما صليت وباركت على إبراهيم
وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad dan keluarga
Muhammad,sebagaimana Engkau telah bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan
keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”.
[SHAHIH, HR
Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/75, An Nasa-i dalam
"Amalul Yaum wal Lailah" no 47 dari jalan Dawud bin Qais dari Nu'aim
bin Abdullah al Mujmir dari Abu Hurairah , Ibnul Qayyim dalam "Jalaa'ul
Afhaam Fish Shalati Was Salaami 'alaa Khairil Anaam (hal 13) berkata,
"Isnad Hadist ini shahih atas syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim), dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam "Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam", hal 181 ]
8.
Dari jalan
Thalhah bin ‘Ubaidullah
اللهم صل على
محمد و على آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك
على محمد و على آل محمد كما باركت على إبراهيم و آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Artinya :
“Ya Allah berilah shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha
Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim,sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
(lagi) Maha Mulia”.
[SHAHIH, HR.
Ahmad 1/162, An Nasa-i dalam "Sunan: nya 3/48 dan "Amalul Yaum wal
Lailah" no 48, Abu Nu’aim dalam "Al Hilyah" 4/373,semuanya dari
jalan 'Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah, dari bapaknya (Thalhah bin
'Ubaidullah), dishahihkan oleh Al Albani].
D. Pembagian-pembagian Shalawat
Perintah
di dalam firman Allah SWT tentang shalawat dalam Qs. Al Ahzab ayat 56 adalah
bersifat umum, tidak dijelaskan waktu dan caranya. Oleh karena itu kaum
muslimin dapat memanjatkan shalawat kapanpun dan dimanapun berada. Dan yang
paling utama adalah membaca shalawat ketika beribadah.
Dengan demikian membaca shalawat untuk Nabi dan kelauarganya
ada 2 macam:
- Membaca shalawat ketika shalat. Hukum membaca shalawat ini adalah wajib dan harus menggunakan kalimat yang dicontohkan oleh Nabi, yaitu berdasarkan hadits:
عَنْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَّهُمْ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ
وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. (رواه مسلم
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa‘diyyi, sesungguhnya
mereka berkata: Ya Rasulullah, bagaimana kami bershalawat atas engkau?
Rasulullah SAW menjawab: katakanlah olehmu (lafadznya terdapat pada hadits di
atas), yang artinya: ‘Wahai Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu atas Muhammad, dan
atas istri-istrinya dan keturunannya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan
kepada Ibrahim, dan limpahkanlah berkat-Mu atas Muhammad, istri-istrinya dan
keturunannya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia’.” [HR. Muslim].
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ
الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ
نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ
حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
(متفق عليه
Artinya:
Diriwayatkan dari Ka‘ab bin ‘Ujrah, kami bertanya
kepada Rasulullah SAW, kami berkata: Ya Rasulullah, bagaiamana bershalawat
atasmu Ahlul Bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana
mengucapkan salam kepada engkau. Rasulullah SAW berkata, katakanlah olehmu:
(lafadz terdapat pada hadits di atas), yang artinya: ‘Wahai Allah, limpahkanlah
kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah
melimpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. Wahai Allah, limpahkanlah berkat-Mu
kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada
Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia’.”
[Muttafaq Alaih].
Berdasarkan 2 hadits di atas maka ada dua macam bacaan
shalawat dalam shalat yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Bacaan tersebut tidak
boleh dikurangi dan dilebihkan.
- Membaca shalawat di luar shalat. Hukum membaca
shalawat ini adalah sunnah.
Membaca shalawat sama artinya dengan membaca do’a karena shalawat artinya Do’a, maka mengucapkan shalawat diluar shalat sama seperti mengucapkan doa, yaitu harus ikhlas semata-mata mencari ridla Allah, dengan berbisik dan lemah lembut, tidak dengan suara yang keras,
Dalam suatu
hadits disebutkan pula sebagai berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي
سَفَرٍ. فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ. فَقالَ النَّبِي صلى الله
عليه وسلم: أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ. إِنَّكُمْ لَيْسَ
تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِباً. إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعاً قَرِيباً
[رواه البخاري]
Artinya:
Diriwayatkan
dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi SAW dalam suatu perjalanan,
kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi SAW
bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak
berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa
kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Buhkari, No. 44/2704)
Di
dalam Firman Allah SWT surat al-A’raf ayat 205, Allah memerintahkan kepada kaum
Muslimin agar berdoa dan berzikir dengan merendahkan diri dan tidak mengeraskan
suara. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar
merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah SWT tidak tuli dan
tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Lafadz shalawat di
luar shalat tidak diatur, sama halnya seperti berdo’a, maka boleh menggunakan
lafadz apa saja yang dipahami, namun begitu menggunakan lafadz yang dicontohkan
oleh Nabi SAW seperti dalam shalat adalah lebih baik.
E. Hubungan Antara Shalawat dan Syafa’at
Syafa‘atul
‘Uzhma adalah pertolongan atau pengampunan yang diberikan oleh Allah Swt kepada
sebagian manusia di akhirat nanti. Pengampunan ini diberikan dengan cara
memberikan izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakannya. Pada saat itu,
konon umat manusia akan berada dalam kebingungan dikarenakan kesalahan dan
khilaf mereka selama hidup di Dunia. Semua umat manusia akan mencari
pertolongan agar terhindar dari azab Allah SWT. Maka umat manusia akan
mendatangi para nabi untuk meminta syafa’at (pertolongan). Para Nabi menyatakan
bahwa mereka tidak sanggup melaksanakannya. Akhirnya atas petunjuk Nabi Isa as,
umat manusia disarankan untuk mendatangi Nabi Muhammad SAW agar beliau memohon
kepada Allah Swt sehingga derita yang mereka tanggung itu hilang dan tidak
bingung lagi. Setelah Nabi Muhammad SAW berdoa, maka Allah Swt mengabulkannya
dengan memberi izin kepada beliau untuk memberi syafa‘at (pertolongan) kepada
mereka yang dipilih oleh Nabi SAW berdasarkan izin dari Allah SWT, maka Nabi
Muhammad SAW akan membebaskan orang-orang yang beriman dari derita itu dan
memasukkan mereka ke dalam surga, sedang orang-orang kafir dimasukkan ke dalam
neraka, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits:
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُونَ
لَوْ اسْتَشْفَعْنَا عَلَى رَبِّنَا حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا
فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ أَنْتَ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ
فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ فَاشْفَعْ لَنَا
عِنْدَ رَبِّنَا فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ وَيَقُولُ
ائْتُوا نُوحًا أَوَّلَ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ
هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا إِبْرَاهِيمَ الَّذِي اتَّخَذَهُ اللهُ
خَلِيلاً فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ
ائْتُوا مُوسَى الَّذِي كَلَّمَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ
فَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا عِيسَى فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ
ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَأْتُونِي فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى
رَبِّي فَإِذَا رَأَيْتُهُ وَقَعْتُ سَاجِدًا فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ
يُقَالُ لِي ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ وَقُلْ يُسْمَعْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَحْمَدُ رَبِّي بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنِي ثُمَّ أَشْفَعُ
فَيَحُدُّ لِي حَدًّا ثُمَّ أُخْرِجُهُمْ مِنْ النَّارِ وَأُدْخِلُهُمْ الْجَنَّةَ
ثُمَّ أَعُودُ فَأَقَعُ سَاجِدًا مِثْلَهُ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ
حَتَّى مَا بَقِيَ فِي النَّارِ إِلاَّ مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ. [رواه البخاري
ومسلم
Artinya:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia
berkata: berkata Rasulullah SAW: Nanti Allah akan mengumpulkan manusia di hari
kiamat, lalu mereka berkata, seandainya ada orang yang memohonkan syafaat
kepada Tuhan kami untuk kami sehingga kami terbebas dari keadaan kami ini. Lalu
mereka datang kepada Nabi Adam, mereka berkata: Engkaulah orang yang diciptakan
Allah dengan tangan-Nya (langsung) dan meniupkan kepada engkau ruh dari-Nya dan
memerintahkan malaikat, lalu mereka sujud kepada engkau, maka berilah kami
syafaat yang berasal dari Tuhan kami. Adam menjawab: bukan aku yang dapat
memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Adam berkata: datanglah
kepada Nuh Rasul yang pertama kali diutus Allah. Lalu mereka datang kepada Nuh
dan Nuh menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut
kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Ibrahim orang yang dijadikan Allah
teman-Nya. Lalu mereka datang kepada Ibrahim dan Ibrahim menjawab: aku bukanlah
orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya.
Datanglah kepada Musa orang yang pernah berbicara dengan Allah. Lalu mereka datang
kepada Musa dan Musa menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya,
sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Isa dan Isa menjawab:
aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, datanglah kepada Muhammad SAW,
karena sesungguhnya Muhammad telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan
yang akan datang. Mereka pun mendatangiku, maka aku pergi minta izin kepada
Tuhanku. Maka ketika aku melihat-Nya aku segera sujud, Ia membiarkanku sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya. Kemudian dikatakan: Angkatlah kepala engkau,
mintalah pasti diberi, katakanlah niscaya akan didengar, mintalah syafaat pasti
diberi. Lalu aku mengangkat kepalaku, lalu aku memanjatkan pujian kepada
Tuhanku sesuai dengan yang diajarkan kepadaku, kemudian aku diizinkan memberi
syafaat kepada orang-orang tertentu. Kemudian aku keluarkan mereka dari neraka
dan aku masukkan ke dalam surga. Kemudian aku kembali menyatakan dan bersujud
seperti semula, kemudian ketiga dan keempat, sehingga yang tinggal dalam neraka
adalah orang yang tidak percaya dan menantang al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Di samping hadits di atas, ada lagi beberapa hadits
shahih yang menerangkan tentang syafa’at itu dan isinya sama dengan isi hadits
di atas.
Dari
penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Hak memberi syafaat itu hanya ada pada Allah, sebagai
yang ditegaskannya:
Yang
artinya :
“Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa
izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
[161] Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin diartikan dengan ilmu
Allah dan ada pula yang mengartikan dengan kekuasaan-Nya.
b. Pada hari
kiamat Nabi Muhammad SAW diberi izin oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada
sebagian manusia sesuai pilihan Nabi SAW dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT.
Di antara yang diberi syafaat itu ialah orang-orang yang mencintai Nabi SAW dan beriman kepada al-Qur’an serta tidak menentangnya.
Di antara yang diberi syafaat itu ialah orang-orang yang mencintai Nabi SAW dan beriman kepada al-Qur’an serta tidak menentangnya.
F. Pengucapan Lafazh “Sayyidina” dalam Shalawat
Sebagian orang membid’ahkan
panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulallah saw.,
dengan alasan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa
mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali
membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu
apa. Selanjutnya kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw.
yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam
risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama
Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya
merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab
kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah swt. memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat
Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita
memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama
orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk
menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. Allah swt.berfirman yang
artinya :
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS.
An-Nur : 63).
Dalam
tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan : Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama
beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai
Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh
hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau
tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau, baik dikala
beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt.
Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti
tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah
sikap orang beriman.
Menurut Ibnu
Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan
Rasulallah saw.
Dalam kitab
Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan : Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau atau memanggil beliau hanya
dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan
demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab
Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut
diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas RA
yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum
Muslimin memanggil Rasulallah SAW hanya
dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan
menurunkan ayat itu Allah SWT melarang mereka menyebut atau memanggil
Rasulallah SAW dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan
kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat
yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang
menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum
ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas.
Antara lain firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9,
Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah SWT memuji kaum
muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut
mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah SWT mengajarkan
kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau
menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan
kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah SWT tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT
mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut
sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah SAW Menyebut nama beliau
tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti “sayyidina”
tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat
beliau.
Dalam surat
Aali-‘Imran : 39 Allah SWT menyebut Nabi Yahya AS dengan predikat “sayyid”
: “…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang
puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid
(terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari
keturunan orang-orang sholeh”.
Para
penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan
istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan
mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya yang artinya :
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan
Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar
Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar).
Juga seorang
suami dapat disebut dengan kata “sayyid”, sebagaimana yang terdapat
dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf ayat 25 yang artinya :
Dan keduanya berlomba-lomba menuju
pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan
Kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. wanita itu berkata:
"Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan
isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?"
Demikian
juga kata “Maula” yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain
sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara
lain dalam surat Ad-Dukhan ayat 41 Allah berfirman yang artinya :
“Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfaat
kepada karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan”
Juga dalam
firman Allah swt. dalam Al-Maidah ayat 55 disebutkan juga kalimat “Maula”
untuk Allah SWT, Rasul dan orang yang beriman yang artinya : “Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
Jadi kalau
kata “sayyid” itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera
Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut Raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan
seseorang, alasan apa
yang dapat digunakan untuk menolak sebutan “sayyid” bagi junjungan kita
Nabi Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan kata “maula” . Apakah
bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya
dengan awalan “sayyidina” atau “maulana” ?
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para
presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang
Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang
mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata “sayyid” atau maula
untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah SAW itu sesungguhnya dari pikiran
meremehkan kedudukan dan martabat beliau SAW Atau sekurang-kurang hendak
menyamakan kedudukan dan martabat Beliau dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulallah SAW
tanpa diawali dengan kata “sayyidina” dan tanpa dilanjutkan dengan
kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (SAW). Menyebut nama Rasulallah dengan cara
demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan.
Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum
orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh
kita tiru.
Banyak
hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah
: “Setiap anak Adam adalah sayyid.
Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah
bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi)
Jadi kalau
setiap anak Adam saja dapat disebut “sayyid”, apakah anak Adam yang
paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu
junjungan kita Nabi Muhammad SAW tidak
boleh disebut “sayyid” ?
Hadits
riwayat Imam Bukhori, Rasulallah saw bersabda: "Janganlah kalian berkata
(kepada seorang budak kepada majikannya), 'beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb
mu, tapi ucapkanlah Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan
Junjunganku)', dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada
mereka,'wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu"
(Shahih Bukhari hadits no. 2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.
2249).
Rasulallah
SAW membolehkan ucapan sayyidi (tuanku) atau maulaya (tuan
muliaku) seorang budak terhadap tuannya, dan berkata para ahli hadits, kalau
antara tuan yg memiliki budak saja boleh menggunakan Sayyidi wa Maulaya.,
atau sayyidina wa maulana, maka sungguh Nabi SAW jauh lebih berhak dari
semua pemilik budak itu.
Bagaimana
tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan “sayyidina” atau “maulana”
dimuka nama beliau SAW ? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan “sayyid”
atau minta juga agar mereka dipanggil “sayyid” dimuka nama mereka !
Begitu juga orang yang ekstrim ini, bila duduk disatu majlis kemudian datang
seorang ulama dimajlis tersebut, mereka ini sampai-sampai berani mengharamkan
orang untuk berdiri penghormatan kepada ulama ini. Padahal banyak contoh dalam hadits
antara lain yang telah kami kemukakan, para sahabat berdiri untuk para
pemimpinnya atau untuk orang yang dipandang mulia oleh mereka. Berdiri untuk
penghormatan itu bukan suatu yang wajib tetapi tata krama yang diajarkan oleh
Rasulallah SAW, untuk seorang yang berilmu atau para wauliya sholihin. Sekali
lagi untuk mengharamkan sesuatu itu harus ada dalilnya yg jelas dan tegas
masalah tersebut.
G. Waktu dan Tempat yang Sunnat Membaca Shalawat
Kita sebagai
umat Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintainya, tentunya kita harus mencintai
beliau melebihi cinta kepada siapapun selain Allah SWT. Konsekuensi dari cinta
kita pada beliau membuktikan bahwa kita betul-betul beriman dan mengerjakan
perintahnya serta menjauhi larangannya. Manifestasi dari bentuk cinta itu juga
beruapa mengucapkan shalawat kepada beliau. Sebab ketika kita mengucap
shalawat, banyak keutamaan yang diberikan kepada kita. Maka orang yang tidak
mau mengucap shalawat kepada Nabi SAW adalah sebuah tindakan kurang ajar,
sekaligus sombong. Setidaknya kekurangajaran itu digambarkan di dalam riwayat
dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang paling
bakhil adalah seseorang yang jika namaku disebut dia tidak bershalawat
untukku.” [H.R. Nasa’i, Tirmidzi dan Thabaraniy].
Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah menyebutkan 40 tempat yang disunnahkan untuk mengucapkan shalawat.
Di antaranya adalah :
1. Sebelum berdoa, sebagaimana
disebutkan oleh Fadhalah bin ‘Abid : “Rasulullah SAW mendengar seorang
laki-laki berdoa dalam shalatnya, tetapi tidak bershalawat untuk Nabi Muhammad,
maka beliau bersabda : “Orang ini tergesa-gesa” Lalu beliau memanggil orang
tersebut dan bersabda kepadanya dan kepada yang lainnya : “Bila salah seorang
di antara kalian shalat (berdoa) maka hendaklah ia memulainya dengan pujian dan
sanjungan kepada Allah lalu bershalawat untuk nabi, kemudian berdoa setelah itu
dengan apa saja yang ia inginkan.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim].
2. Ketika menyebut, mendengar dan
menulis nama beliau, berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW : “Celakalah
seseorang yang namaku disebutkan di sisinya lalu ia tidak bershalawat untukku.”
[H.R. Tirmidzi dan Hakim].
3. Dianjurkan memperbanyak shalawat
Nabi pada hari Jum’at, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Aus bin ‘Aus :
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya di antara hari-hari yang paling afdhal
adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah shalawat untukku pada hari itu, karena
shalawat kalian akan sampai kepadaku……” [R. Abu Daud, Ahmad dan Hakim].
4. Ketika masuk dan keluar masjid,
sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Fatimah RA, dia
berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Bila kalian masuk mesjid, maka ucapkanlah
: ”Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah, ya Allah shalawatlah untuk Muhammad
dan keluarga Muhammad, ampunilah kami dan mudahkanlah bagi kami pintu-pintu
rahmat-Mu.” “Dan bila keluar dari mesjid maka ucapkanlah itu, tapi (pada
penggalan akhir) diganti dengan : “Dan permudahlah bagi kami pintu-pintu
karunia-Mu.” [H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi].
5. Ketika Shalat jenazah. Disyari’atkan
bershalawat pada shalat jenazah setelah takbir yang kedua didasarkan atas hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Umamah RA, bahwa beliau diberitahu oleh seorang
shahabat nabi ; Bahwa sunnah di dalam shalat bagi mayat adalah imam bertakbir,
kemudian membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) setelah takbir pertama,
kemudian bershalawat kepada Nabi saw (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i
dan yang lainnya).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((أولَى الناسِ
بِيْ يوم القيامة أكثرُهم عليَّ صلاةً))
Artinya :
“Orang yang paling dekat dariku pada hari kiamat
adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR.
At-Tirmidzy, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Maka
hendaknya seorang muslim memperbanyak shalawat atas beliau. Dan disana ada
waktu khusus yang disyariatkan bershalawat seperti ketika hari jum’at, ketika
disebutkan nama beliau, ketika tasyahhud akhir, setelah takbir kedua pada
shalat jenazah, ketika mau berdoa, ketika masuk masjid, ketika keluar masjid
dan setelah menjawab muadzdzin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalawat
adalah bacaan do’a dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW, yang memiliki hukum :
1.
Wajib
a.
Hukum
membaca shalawat ibrahimiyah itu wajib pada saat
tahiyat akhir shalat. Baik shalat fardhu yang lima waktu maupun
shalat sunnah.
b.
Wajib
membaca shalawat sekali seumur hidup.
c.
Wajib
mengucapkan shalawat ketika mendengar nama Nabi Muhammad disebut, menurut
pendapat Imam Tahawi.
2.
Sunnah
muakkad pada situasi di luar shalat.
B. Kritik
Termasuk
dalam kesalahan adalah melantunkan shalawat Nabi dengan berirama dan terkadang
dilakukan secara berjamaah. Bahkan ada yang diiringi dengan lantunan musik piano, genderang, rebana dan lainnya.
Sungguh, ini merupakan suatu kebatilan yang nyata yang dikemas dalam bentuk
ibadah. Bagaikan najis yang dicampur dengan setetes air suci. Allahul musta’an.
Tak hanya
itu, tujuan shalawat pun kini telah bias. Yang awalnya untuk mendoakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam kini menjadi hiburan yang dapat dinikmati suara
dan iringan musiknya.
Demikian
pula, penting bagi kita menjauhi cara
bershalawat yang tidak ada dalilnya seperti bershalawat dengan dinyanyikan,
karena ini tidak pernah dicontohkan oleh para pendahulu kita dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.
C. Saran
Tidak luput
dari qodrat manusia sebagai mahluk yang tidak sempurna, kami dari penyusun
makalah ini menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam penyusunan makalah ini. Selanjutnya kami meminta maaf dari
kesalahan-kesalahan kami dalam materi, penyampaian dan penulisan. Kami berharap
kepada semua pembaca memberikan tanggapannya sebagai kritik yang membangun agar
dikemudian hari menjadi suatu ilmu yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Asy
Syari’ah no. 07/I/1425 H/2004 pada artikel "Shalawat Nabi Antara Sunnah
dan Bid'ah Bagian 2", hal. 34-35.
tanyajawabagamaislam.blogspot.com
(dari Ustadz Abdullah Roy, Lc.).
Al-Sami, Mahmud. Muktashar fî
Ma’ânî Asmâ Allâh al-Husnâ. Daarul Al-Kutub Al-Islamiyah. Jakarta.
Al-Nabhani. Yusuf bin Isma’il. Afdhalu
al-Shalawati ‘ala Sayyidi al-Sadati. Daarul Al-Kutub Al-Islamiyah. Jakarta.
Komentar
Posting Komentar